Wednesday, March 18, 2015

Pembagian maslahah dan Syarat-syarat serta Kaitannya dengan Maqasid Syariah


MAKALAH
USHUL FIQH
PEMBAGIAN MASLAHAH DAN SYARAT-SYARATNYA
DOSEN : TOHA MA’ARIF, S.H.I




DISUSUN OLEH :
UMAR FIKRI
NIM 110201010

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
YAYASAN PEMBANGUNAN KALIANDA (STAI YASBA)
TAHUN 2012/2013









PENDAHULUAN

Pembahasan maslahah dalam makalah ini sangat berkaitan erat dengan teori Maqashid al-Syari’ah. Bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan fiqih kontemporer, pengetahuan tentang Maqashid al-Syari’ah mutlak diperlukan dalam rangka memahami hakikat dan peranannya dalam penetapan hukum. Oleh karena itu perlu dijelaskan terlebih dahulu definisi Maslahah serta pembagiannya menurut pendapat  para ulama.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ushul Fiqih”. Pemakalah sangat berterima kasih jika ada yang dapat memberikan pendapat, baik saran ataupun kritikan sehingga  ke depannya dalam penulisan dapat lebih baik dan lebih lengkap








MASLAHAH

A.    DEFINISI MASLAHAH
Secara bahasa, berasal dari kata ishlah yang berarti baik. Kata ishlah biasanya secara khusus digunakan untuk menghilangkan persengketaan yang terjadi di kalangan manusia. Akan tetapi jika ishlah tersebut dilakukan oleh Allah pada manusia, maka mengandung beberapa pengertian, kadang-kadang dilakukan melalui beberapa prosespenciptaan yang sempurna, kadang-kadang dengan menghilangkan suatu kejelekan/ kerusakan setelah keberadaannya, kadang-kadang pula dengan menetapkan kebaikan kepada manusia itu sendiri melalui penegakan hukum (aturan) terhadapnya.[1]
Ibrahim Madkur dalam mu’jamnya berpendapat bahwa ishlah yang berasal dari kata shalih mengandung dua makna, yaitu manfaat dan keserasian serta terhindar dari kerusakan, sehingga jika kata tersebut mendapat imbuhan frase Ashlaha Baynahuma, maka berarti menghilangkan segala sifat permusuhan dan pertikaian antara kedua belah pihak. Dengan demikian Ashlaha berarti menghilangkan dan menghentikan segala bentuk permusuhan dan pertikaian.[2]
Secara istilah, term Ishlah dapat diartikan sebagai perbuatan terpuji dalam kaitannya dengan perilaku manusia.[3] Karena itu, dalam terminologi islam secara umum, Ishlah dapat deartikan sebagai suatu aktivitas yang ingin membawa perubahan dari keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik. Dengan kata lain, perbuatan baik lawan dari perbuatan jelek. ‘Abd Salam menyatakan bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki semua amal perbuatannya dan segala urusannya.[4]
Dalam perspektif tafsir al-Thabarsi dan al-Zamakhsyari dalam tafsirnya berpendapat, bahwa kata Ishlah mempunyai arti mengkondisikan sesuatu pada sesuatu yang lurus dan mengembalikan fungsinya untuk dimanfaatkan.[5]
Kata Ishlah juga memiliki beberapa sinonim, diantaranya tajd_d (pembaruan) dan taghyir (perubahan), yang keduanya mengarah pada kemajuan dan perbaikan keadaan.[6]
Sementara menurut ulama fiqih, kata Ishlah diartikan sebagai perdamaian, yakni suatu perjanjian yang ditetapkan untuk menghilangkan persengketaan di antara manusia yang bertikai, baik individu maupun kelompok.[7]
Sejalan dengan definisi di atas, hasan sadily menyatakan bahwa Ishlah merupakan bentuk persoalan diantara para pihak yang bersangkutan untuk melakukan penyelesaian pertikaian dengan jalan baik-baik dan damai, yang dapat berguna dalam keluarga, pengadilan, peperangan, dan lain-lain.[8]
Sayid Sabiq menerangkan bahwa Ishlah merupakan suatu jenis akad untuk mengakhiri permusuhan antara dua orang yang sedang bermusuhan. Selanjutnya ia menyebut pihak yang bersengketa dan sedang mengadakan Ishlah tersebut dengan Mushalih, adapun hal yang diperselisihkan disebut dengan Mushalih ‘anh, dan hal yang dilakukan oleh masing-masing pihak terhadap pihak lain untuk memutus perselisihan disebut dengan Mushalih alaih atau Badal al-shulh.[9]
Dari keterangan di atas dapat diterangkan lebih lanjut bahwa, meskipun kata Ishlah atau Shulh merupakan sinonim, namun kata Ishlah lebih menekankan arti suatu proses perdamaian antara dua pihak. Sedangkan kata Shulh lebih menekankan arti hasil dari proses Ishlah tersebut yaitu berupa Shulh (perdamaian/kedamaian). Dapat denyatakan juga bahwa Ishlah mengisyaratkan diperlukannya pihak ketiga sebagai perantara atau mediator dalam penyelesaian konflik tersebut. Sementara dalam Shulh tidak mengisyaratkan diperlukannya mediator.
Dalam khazanah pemikiran hukum islam, para ulama ushul fiqih juga membahas kata Ishlah dan menjadikannya sebagai salah satu metode menemukan hukum dalam bentuk istishlah/mashlahahAl-Ghazali menerangkan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan madharat.[10]

B.     PEMBAGIAN MASLAHAH
Tujuan utama syari’ (legislator) adalah mashlahah Manusia, demikian diungkapkan oleh al-Syathibi.[11] Lebih jauh ia mendefinisikan maslahah sebagai sesuatu yang melindungi kepentingan-kepentingan, yaitu maslahah yang membicarakan subtansi kehidupan manusia dan pencapaian apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya dalam pengertian yang mutlak. Selanjutnya ia membagi mashlahah dalm tiga kategori, yaitu:[12]

1)      Kebutuhan Dharuriyah
Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al-Syathibi, ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yang paling utama dan mendasar yang kepentingannya harus selalu dijaga atau dilindungi yaitu :

a)      Melindungi Agama (al-Din)
            untuk persoalan ad-Din berhubungan dengan ibadah-ibadah yang dilakukan seorang muslim dan muslimah, membela Islam dari ajaran-ajaran yang sesat, membela Islam dari serangan-serangan orang-orang yang beriman kepada agama lain.

b)     Melindungi nyawa (al-Nafs)
            Di dalam agama Islam nyawa manusia adalah sesuatu yang sangat berharga yang harus dijaga dan dilindungi. Seorang muslim dilarang membunuh orang lain atau dirinya sendiri. Terjemahan dari surat al-Isra’ 17:33, yang artinya :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan satu (alasan) yang benar….”

c)      Melindungi Akal (al-‘Aql)
            Yang membedakan manusia dengan hewan adalah akal, oleh karena itu kita wajib menjaga dan melindunginya. Islam menyarankan kita untuk menuntut ilmu sampai keujung dunia manapun dan melarang kita untuk merusak akal sehat kita, seperti meminum alkohol.

d)     Melindungi keluarga/garis keturunan (al-‘Ird)
            Menjaga keturunan dengan menikah secara agama dan Negara. Punya anak diluar nikah, misalnya akan berdampak pada warisan dan kekacauan dalam keluarga dengan tidak jelasnya status anak tersebut.

e)      Melindungi Harta (al-Maal)
            Harta adalah hal yang sangat penting dan berharga, namun Islam melarang kita untuk mendapatkan harta kita dengan cara ilegal, dengan mengambil harta orang lain dengan cara mencuri atau korupsi.

            Kelima hal yang terpenting diatas didapat dari syariah eksensi dari pada existensi manusia. Oleh karena itu semua golongan sosial sudah selayaknya melindunginya, karena jika tidak, kehidupan manusia di dunia akan menjadi rusak, kacau, miskin dan menderita baik dunia maupun akhiratnya.memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qishas.
تتقون    لعلكم يأولى الألباب فى القصاص حياة   ولكم
Artinya : “Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang bertakwa”
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qishas karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.

2)      Kebutuhan al-Hajjiyah
Al Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum  rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf. Merupakan contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh pembolehan tidak berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.

3)      Kebutuhan Tahsiniyah
Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al-Syathibi seperti hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah, muamalah, dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan  tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah. 
Al Syathibi juga membagi maslahah dalam tiga hal, yaitu :[13]
a)      Maslahah muktabar, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas. Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima ini adalah pemeliharaaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah sebabnya diharuskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan serangan musuh yang bermaksud menghancurkan agama dan tanah air. Ditetapkannya hukuman qishas untuk menjamin keselamatan jiwa, dan lain-lain.

b)      Maslahah mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan. Sebagai contoh, pada suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, gubernur Andalusia, meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah membatalkan puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di siang hari. Al-Laitsi menfatwakan bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Pengambilan keputusan ini diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau memberi makan 60 orang miskin terlalu ringan bagi seorang gubernur, maka dikawatirkan sang gubernur meremehkannya. Kemashlahatan yang lebih besar dalam kasus ini adalah kemashlahatan agama.

c)      Maslahah  mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan hak milik atas barang-barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas berbuat maksiat. maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual beli, nikah, hibah dan lain sebagainya.

Dengan demikian, kekuatan mashlahah sebagai dalil dapat dilihatdari segi tujuan syara’ dalam menetapkan hukum (Maqashid Syari’ah) yang berkaitan dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia tersebut, juga dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal di atas.[14]

C.    MAQASHID SYARI’AH
secara bahasa Maqashid al-syari’ah berarti maksud atau tujuan yang disyari’atkan hukum dalam islam. Maka bahasan utama dalam teori ini adalah masalah hikmah dan illah ditetapkannya hukum.[15]
            Kajian tentang ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang Ushul Fiqih. Dalam perkembangan berikutnya, kajian ini merupakan kajian utama dalm filsafat hukum islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah maqashid al-syari’ah identik dengan istilah filsafat hukum islam yang melibatkan pertanyaan kritis tentang ditetapkannya suatu hukum.[16]
            Tujuan hukum harus diketahui oleh para mujtahid dalam rangka mengembangkan hukum Islam guna menjawab persoalan-persoalanhukkum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Qur’an da Hadits. Juga, tujuan hukum perlu diketahui dalam menetapkan, apakah terhadap suatu kasusmasih dapat diterapkan satu ketentuan hukum yang sama atau tidak karena adanya perubahan struktur sosial.
Dengan demikian, pengetahuan tentang Maqashid al-syari’ah menjadi kunci bagi keberhasilan ijtihad. Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan persoalan hukum disini adalah tentu persoalan hukum yang menyangkut bidang mu’amalah yang dapat diketahui makna dan rahasianya oleh akal manusia.[17] Dalam penelusuran terhadap masalah-masalah mu’amalah ini, mujtahid perlu mempertanyakan mengapa Allah Swt dan Rasul-Nya menetapkan hukum tertentu dalam bidang mu’amalah. Untuk selanjutnya mempertanyakan, apakah suatu aturan hukum tertentu masih dapat diterapkan terhadap kasus hukum tertentu dalam Maqashid al-syari’ah.
Lebih jelasnya, dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti lebih dahulu hakikat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya, bahwa dalam menerapkan nash dalam satu kasus yang baru, kandungan nash harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan yang disyari’atkan hukum tersebut.
Setelah itu perlu dilakukan studi untuk menentukan kelayakan, apakah ayat atau hadits tertentu layak untuk diterapkan pada kasus yang baru itu. Boleh jadi ada kasus hukum baru yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, padahal setelah diadakan penelitianyang seksama, ternyata kasus itu tidak sama. Konsekuensinya, kasus tersebut tidak dapat disamakan hukumnya dengan kasus yang ada pada kedua sumber hukum yang utama itu. Di sinilah letak pentingnya pengetahuan tentang tujuan umum disyari’atkan hukum dalam islam sebagaimana telah dilakukan oleh para ahli ushul fiqih terdahulu.
Seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan, demikian ditegaskan oleh juwaini. Kemudian ia mengelaborasi lebih lanjut Maqashid al-Syari’ah itu dalam kaitannya dengan pembahasan ‘illah dalam qiyas. Menurut pendapatnya, maka kaitannya dalam ‘illah, ashl dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu ashl yang masuk kategori dharuriyyah,hajjiyyah ammah, dan makramah. Dalam istilah lain kategori ketiga biasa disebut tahsiniyyah.[18]
Pemikiran al-Juwaini di atas agaknya dikembangkan dan diberi bentuk oleh Ghazali. Ia menjelaskan maksud Syari’at dalam kaitannya dengan pembahasan al-Munasabah al-mashlahiyyah.[19] Dan lebih jauh lagi dalam pembahasan Istishlah.[20] Baginya, mashlahah adalah memelihara maksud syari’. kemudian ia memerinci mashlahah itu kepada lima hal, yaitu memelihara Agama, Jiwa, Akal, Ketutunan, dan Harta. Kelima aspek mashlahah ini berada pada peringkat yang berbeda ditinjau dari segi tujuannya, yaitu peringkat Dharurah, Hajjah, dan Tahsinah.
Selanjutnya, secara khusus aspek utama Maqashid al-syari’ah dikembangkan oleh ’Izzu al-Din ibn ‘Abdi al-Salam dalam kitabnya, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ia mengejawantahkan mashlahah dalam bentuk dar’u al-mafasid wa jalbu al-manafi’. Baginya mashlahah duniawiyyah tidak dapat dilepaskan dari tiga peringkat yaitu dharuriyyah, hajjiyah, dan tatimmah atau takmilah. lebih lanjut ia menyatakan bahwa taklif bermuara pada kemashlahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.[21]
Adapun ahli ushul fiqih yang membahas teori Maqashid al-syari’ah secara lebih khusus, sistematis dan dan jelas adalah al-Syathibi dari kalangan mazhab maliki. Ia secara tegas menyatakan, bahwa tujuan utama Allah Swt mensyari’atkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Karena itu, pembebanan dalam bidang hukum harus bermuara pada tujuan hukum tersebut. Sebagaimana ulama sebelumnya, ia juga membagi peringkat maslahah menjadi tiga peringkat, yaitu dharuriyah, hajjiyah, dan tahsiniyah. Yang dimaksud dengan maslahah baginya adalah memelihara lima aspek utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Berdasarkan pernyataan para ahli ushul fiqih di atas dapat dipahami, bahwa tujuan Allah Swt mensyari’atkan hukum adalah untuk memelihara maslahah manusia dan menghindari mafsadah, baik di dunia maupun akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, yaitu al-Qur’an dan Hadits. untuk tujuan itu, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara yaitu agama, jiwa akal, keturunan, dan harta.
Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan jika ia dapat memelihara kelima aspek pokok itu, sebaliknya ia akan merasakan adanya mafsadah, jika ia tidak dapat memeliharanya dengan baik. Menurut al-Syathibi, penetapan kelima pokok di atas didasarkan atas dalail-dalil al-Qur’an dan Hadits. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai al-qawa’id al-kulliyat dalam menetapkan     al-kulliyat al-khams.
Ayat-ayat yang dijadikan dasar pada umumnya adalah ayat-ayat makiyyah yang tidak dinaskh dan ayat-ayat madaniyyah yang mengukuhkan ayat-ayat makiyyah. Diantara ayat-ayat itu adalah ayat-ayat yang berhubungan dengan kewajiban shalat, larangan membunuh jiwa, larangan meminum minuman yang memabukkan, larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Ia berkesimpulan bahwa oleh karena dalil-dalil yang digunakan untuk menetapkan al-kulliyyat al-khams termasuk dalil yang qath’i maka ia juga dapat dikelompokkan sebagai qath’i. Dalam artian, karena landasan hukum untuk menetapkan al-kulliyyat al-khams dapat dipertanggungjawabkan, maka ia dapat pula dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum.[22]
Guna menetapkan hukum, kelima unsur pokok di atas dibedakan menjadi tiga peringkat, dharuriyyah, hajjiyah, dan tahsiniyyah. Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya. Urutan peringkat ini akan terlihat kepentingannya, manakala kemaslahatan yang ada pada masing-masing peringkat itu satu sama lain bertentangan. Dalam hal ini peringkat dharuriyyah menempati urutan pertama, disusul oleh peringkat hajjiyah, kemudian disusul oleh tahsiniyyah. Namun dari sisi lain dapat dilihat bahwa peringkat ketiga melengkapi peringkat kedua, dan peringkat kedua melengkapi peringkat pertama.
Guna memperoleh gambaran yang utuh tentang teori Maqashid al-syari’ah, berikut ini akan dijelaskan secara utuh kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing. Uraian ini bertitik tolak dari kelima pokok kemaslahatan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kemudian kelima pokok itu akan dilihat berdasarkan tingkat kepentingan atau kebutuhannya.

1.      Memelihara Agama (Hifzh al-Din)
Memelihara agama dalam peringkat dharuriyyah, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu.kalau shalat ini diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama.
Memelihara agama dalam peringkat hajjiyah, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama’ dan qashar bgi orang yang sedang bepergian jauh. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit orang yang melakukannya.
Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyah, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan. Misalnya, menutup aurat, baik di dalam maupun di luar shalat, membersihkan badan, pakaian, dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlak terpuji. Kalau hal itu tidak dilakukan, karena tidak memungkinkan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula akan mempersulit orang yang melakukannya.

2.      Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs)
Memelihara  jiwa dalam peringkat dharuriyyah, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok itu diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
Memelihara jiwa dalam peringkat hajjiyah, seperti dibolehkan berburu dan menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya.
Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyah, seperti ditetapkanmnya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan etiket, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.

3.      Memelihara Akal (Hifzh al-‘Aql)
Memelihara akal dalam peringkat dharuriyyah, seperti dilarang minum khamr. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
Memelihara akal secara hajjiyah, seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya kegiatan ini tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyah, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.

4.      Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl)
Memelihara keturunan dalam peringkat dharuriyyah, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka akan mengancam eksistensi keturunan.
Memelihara keturunan dalam peringkat hajjiyah, seperti ditetapkan ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mitsil. Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis lagi.
Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyah, seperti disyari’atkan khithbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak akan pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.

5.      Memelihara Harta (Hifzh al-Maal)
Memelihara harta dalam peringkat dharuriyah, seperti disyari’atkannya tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan ini dilanggar, maka akan berakibat terancamnya eksistensi harta.
Memelihara harta dalam peringkat hajjiyah, seperti disyari’atkan jual beli dengan cara salam (pesan). Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkam akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyah, seperti ketentuan agar menghindarkan diri dari penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermu’amalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada kesalahan jual beli itu, sebab merupakan syarat adanya peringkat adanya peringkat kedua dan pertama.

D.    ISHLAH DALAM MASLAHAH
Jelas bahwa tujuan disyari’atkan hukum adalah untuk memelihara maslahah, dan sekaligus menghindari mafsadah, baik di dunia maupun di akhirat. Segala macam kasus hukum, baik yang secara eksplisit diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadits maupun yang dihasilkan dari ijtihad, harus bertitik tolak dari tujuan tersebut. Dalam kasus hukum yang secara eksplisit dijelaskan dalam kedua sumber utama fiqih itu, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui teks yang ada. Jika ternyata kemaslahatan itu dijelaskan, maka kemaslahatan tersebut harus dijadikan titik tolak penetapan hukumnya.
Dengan demikian menjadi jelas pula bahwa ishlah yang berperan sangat penting dalam membina kehidupan yang damai dan beradab bagi individu dan masyarakat baik di dunia yang meliputi pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta maupun di akhirat bertitik tolak pada tujuan tujuan memelihara kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan sebagaimana tujuan disyari’atkannya hukum itu sendiri. Di samping itu, ishlah sebagai suatu produk hukum dalam menyelesaikan konflik dalam berbagai bentuknya, dapat ditelusuri sumber dan dasar-dasarnya dari ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, dipastikan dapat memelihara kulliyat al-khams sebagaimana tersebut di atas. Dengan demikian, keberadaannya adalah sah dan oleh karena itu sah pula untuk diterapkan sebagai salah satu akad yang dapat mewujudkan perdamaian. Di sinilah posisi strategis ishlah dalam konteks maslahah dan dalam mewujudkan maslahah itu sendiri.
Diterapkannya ishlah dan tereliminasinya konflik dipastikan akan dapat memelihara kemuliaan agama. Bahwa islam sebagai agama perdamaian dan keselamatan mengejawantahkan ajarannya dengan menciptakan kedamaian antar anggota masyarakat dimana islam dipeluk dan ditegakkan. Begitu pula ishlah dapat mencegah terjadinya pertumpahan darah yang dapat merusak dan menghilangkan jiwa yang sangat berharga. Ishlah juga dapat memelihara harta individu dan masyarakat agar termanfaatkan secara maksimal bagi peningkatan kebijakan individu dan masyarakat, daripada terhamburkan dalam persengketaan masyarakat yang berlarut-larut yang menghabiskan banyak biaya dan tenaga.
Begitu pula dengan ishlah akal manusia yang bersih dapat terpelihara, karena pada dasarnya fithrah akal manusia adalah cinta pada Tuhan, sedangkan Tuhan adalah zat yang maha baik dan selalu mengajarkan kebaikan dan kedamaian, menjauhi keburukan dan permusuhan. Begitu pula dengan ishlah akan terwujud generasi yang cerdas dan sadar hukum karena terbimbing dalam suasana keluarga dan sosial yang damai, sejahtera dan sadar hukum, sehingga dapat tercipta pribadi-pribadi yang damai, sejahtera dan sadar hukum pula.





KESIMPULAN

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa para ulama dari berbagai disiplin ilmu telah mengungkapkan definisi ishlah menurut spesialisasi ilmu yang mereka kuasai. Berbagai makna ishlah masing-masing di atas, pada dasarnya bahwa makna ishlah berkisar pada anjuran kepada manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jelek.
Dengan fungsi dan tujuan ishlah adalah untuk memelihara perdamaian demi terciptanya kemanfaatan dan menghindarkan kesulitan sebagai tujuan syari’at secara umum karena mengarah pada terwujudnya manfaat dan kebaikan bagi umat. Maka setiap yang dapat memelihara dan mewujudkan tujuan tersebut, yang dalam hal ini termasuk ishlah, dapat dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk nash.






Daftar Pustaka
Al-Ashfahani, al-Raghib. Al-Mufradat fi Raghib al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ma’rifah
Al-Aynayni, Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad. Al-Bidayah fi Syarh al-Hidayah. Beirut: Dar al-Fikr. t,th.
Al-Ghazali. 1971. Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Shibh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil. Baghdad: Mathba’at al-Irsyad.
Al-Ghazali. 1971. Al-Mustasyfa. Baghdad: Mathba’at al-Irsyad.
Al-juwaini, Abd. Al-Malik Ibn Yusuf Abu al-Ma’ali. 1400 H. Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Anshar.
Al-Salam, Ibn ‘Abdi. Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Kairo: al-Istiqamat, tth., Jil. I
Al-Syathibi. Al-Mufawaqat fi Ushul al-Ahkam.tt. : Dar al-Fikr, Jil. II.
Al-Thabarsi, Abu Ali al-Fadl ibn al-Hasan. 1986. Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Efendi  Satria. 1991. Maqashid al-Syari’at dan Perubahan Sosial, dalam dialog. Jakarta: Badan Litbang Depag. No. 33 tahun XV, Januari.
E. van Donzel, B. Lewis, dkk (ed). 1990. Encyclopedia of Islam. Leiden: E.J. Brill.
Ibn Manzhir, Ibn. Lisan al-’Arab. Mesir: al-Dar al Mishriyyah lita’lif wa al-Tarjamah. t.th.
Madkur, Ibrahim. Al-Mu’jam al-Wajiz
O. Voll, John. 1983. Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlah dalam john L. Esposito, Voices of resurgent. New York: Oxford University Press.
Sabiq, Sayid. 1988. Fiqh al-Sunnah, terj. Kamaluddin A. Marzuki dengan judul Fiqih Sunnah. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Sadyli, Hasan dkk.  1982. Eksiklopedi Indonesia. Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve.
Salam, Abd. Mu’jam al-Wasith. Teheran: Maktabat al-Ilmiyah. t.th



[1] Al-Raghib al-Ashfahani, f_Ghar_b al-Qur’an, (Beirut: Dar al- Ma’rifah, t.th) h. 284-285
[2] Ibrahim  Madkur, al-Mu’jam al-Wajiz (tp., t.th) h. 368. Lihat juga Ahmad Athiyyatullah, al-Qams al-Islami, (Mesir: Makhtabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1076), jilid 4, h. 3221
[3] E. Van Donzel, B. Lewis, dkk (ed), Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill. 1990), Jil. IV, h. 141 Al-Raghib al-Ashfahani, f_Ghar_b al-Qur’an, (Beirut: Dar al- Ma’rifah, t.th) h. 284-285
[4] Abd Salam, Mu’jam al-Wasith, (Teheran: Maktabah al-Ilmiyah, t.th)Jil. I, h. 522
[5] Abu ‘Ali al-Fadl ibn al-Hasan at-Thabarsi, majma’ al-Bayan f_tafs_r al-qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986),cet. I, Jil. I, II. h. 137. Lihat juga Abu al-Qayim jarullahi  Mahm_d ibn Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), cet. I, Jil. I, h. 70
[6] John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlah dalam john L. Esposito, Voices of Resurgent, (New York: Oxford University Press, 1983), h. 32-42
[7] Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni, al-Bidayah fi Syarh al-Hidayah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Jil. 9, h. 3
[8] Hassan Sadyli dkk, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1982), h. 1496
[9] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, terj., kamaludin A. Marzuki dengan judul Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1988), Jil. Ke-13, h. 189
[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), Jil, 2, h. 324
[11] Al-Syatibi, al- Muwafaqat f_Ush_l al-Ahkam, Juz II, tt., t.th. h. 35-36
[12] Al-Syathibi, h. 5
[13] Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (tt.: Dar al-Fikr, tth), Jil. II
[14] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh 2, h. 327
[15] Ahmad al-Raysuni, Nazhariyyal al-maqdshid ‘Inda al-Syathibi, (Rabath: Dar al-Aman, 1991),h.97
[16] Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaqal-Syathibi’s Life and Thought, (Delhi: International Islamic Publishers, 1989),h. 325-326
[17] Satria Efendi, “Maqashid al-Syari’at dan Perubahan Sosial”, dalam dialog (Jakarta: Badan Litbang Depag, No, 33 tahun XV,  Januari, 1991), h. 29
[18] Abd. Al-Malik Ibn Yusuf Abu al-Ma’ali al-Juwaini, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Anshar, 1400 H), Jil. II, h. 923
[19] Al-Ghazali, Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Shibh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil, (Baghdad: Mathba’at al-Irsyad, 1971), h. 159
[20] Al-Ghazali, al-Musytasyfa, (Baghdad: Mathba’at al-Irsyad, 1971), Juz I, h. 250
[21] Ibn ‘Abdi al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Kairo: al-Istiqamat, tth)Jil. I, h. 9
[22] Al-Syathibi, Jil, II, h. 34-70